Reaksi Emosional Saya Saat Mendengar Kata “Diabetes”

Reaksi Emosional Saya Saat Mendengar Kata “Diabetes”

Diposting pada

Hari itu masih terpatri jelas dalam ingatan saya. Dokter memandang saya dengan ekspresi serius dan berkata, “Anda mengidap diabetes tipe 2.”

Dalam sekejap, dunia saya terasa membeku. Kata “diabetes” begitu berat, penuh stigma, dan menakutkan. Pikiran saya berputar-putar membayangkan suntikan insulin, pantangan makanan, dan komplikasi serius. Lebih dari itu, saya diliputi oleh serangan stres diabetes yang langsung menyerang mental dan emosi saya.

Saya yakin, banyak orang yang baru didiagnosis diabetes juga mengalami hal serupa. Oleh karena itu, lewat artikel ini, saya ingin berbagi cerita pribadi mengenai reaksi emosional saya saat mendengar kata “diabetes” dan bagaimana saya belajar melakukan manajemen stres diabetes secara realistis.

Gelombang Emosi Awal yang Saya Alami

1. Penyangkalan: “Mungkin Ini Salah Diagnosa”

Saat pertama kali mendengar hasil tes, reaksi spontan saya adalah penyangkalan. Rasanya tidak mungkin saya mengidap diabetes. Saya merasa sehat, makan cukup baik, dan masih aktif. Tetapi kenyataannya berkata lain. Penyangkalan ini justru menunda saya dalam mengambil langkah penting untuk coping stres diabetes secara lebih awal.

2. Ketakutan: “Bagaimana Masa Depan Saya?”

Setelah mulai menerima kenyataan, gelombang ketakutan menghantam. Pikiran saya dipenuhi bayangan komplikasi: kebutaan, gagal ginjal, amputasi, hingga kematian dini. Kecemasan ini menimbulkan lonjakan hormon stres, yang ironisnya, justru memperburuk stres dan gula darah saya. Inilah mengapa penting sekali memahami hubungan antara stres diabetes dengan kondisi fisik.

3. Rasa Bersalah dan Malu: “Saya Menyebabkan Ini Sendiri”

Saya juga sempat menyalahkan diri sendiri. Seolah-olah semua kesalahan gaya hidup saya di masa lalu langsung menuntut balas. Rasa malu pun muncul saat berbicara dengan keluarga, seakan saya membawa aib. Padahal, diabetes bisa terjadi pada siapa saja, bukan semata akibat kesalahan pribadi.

4. Kemarahan: “Mengapa Harus Saya?”

Saya marah. Pada diri sendiri, pada genetik, bahkan pada nasib. Emosi ini cukup menguras energi dan semakin menambah beban stres diabetes yang saya alami.

5. Akhirnya: Menerima dan Beradaptasi

Setelah melewati proses panjang, saya perlahan mulai menerima kenyataan. Saya belajar bahwa manajemen stres diabetes menjadi kunci utama agar saya tetap bisa menjalani hidup normal dan produktif.

Titik Balik Saya Dalam Coping Stres Diabetes

Beberapa minggu setelah diagnosis, saya mengalami krisis. Saat itu pekerjaan menumpuk, keluarga butuh perhatian, dan jadwal kontrol kesehatan mulai padat. Akibatnya, gula darah saya sempat melonjak hingga 300 mg/dL. Saat itulah saya menyadari bahwa saya butuh strategi coping stres diabetes yang nyata.

Berikut langkah-langkah realistis yang mulai saya terapkan:

A. Mengedukasi Diri

Saya membaca banyak referensi terpercaya tentang tips hidup dengan diabetes, menghadiri seminar edukasi, dan rutin konsultasi dengan dokter endokrinologi. Dengan bekal ilmu, saya merasa lebih siap mengelola kondisi saya.

B. Dukungan Keluarga dan Komunitas

Saya berterus terang pada keluarga mengenai kondisi dan kebutuhan saya. Tak hanya itu, saya juga bergabung dengan komunitas lokal penderita diabetes di Jakarta. Dukungan sosial ini luar biasa membantu dalam mengurangi stres diabetes yang menumpuk.

C. Terapis dan Konseling Kesehatan Mental

Saya memberanikan diri untuk menemui psikolog spesialis penyakit kronis. Lewat sesi konseling, saya belajar teknik mindfulness, self-compassion, dan cognitive behavioral therapy (CBT) yang sangat efektif dalam manajemen stres diabetes saya.

D. Rutin Berolahraga

Berjalan kaki ringan setiap pagi di taman kota memberikan dampak besar terhadap stabilitas stres dan gula darah saya. Selain menyehatkan tubuh, olahraga ringan sangat efektif sebagai mekanisme coping stres diabetes harian.

E. Disiplin Dalam Pola Makan

Saya mengatur pola makan rendah karbohidrat, tinggi serat, serta mengontrol porsi secara cermat. Saya juga berkonsultasi dengan ahli gizi khusus penderita diabetes untuk memastikan menu harian saya seimbang.

Mengubah Ketakutan Menjadi Kekuatan

Kini, setelah hampir dua tahun menjalani kehidupan sebagai penyandang diabetes, saya bisa mengatakan bahwa coping stres diabetes adalah perjalanan panjang namun sangat mungkin dilakukan. Dengan manajemen stres diabetes yang baik, saya tidak hanya menjaga kestabilan gula darah, tetapi juga kesehatan mental saya.

Kunci utama bagi saya adalah: edukasi, dukungan, terapi, olahraga, dan pola makan yang terstruktur. Tidak lupa, saya juga belajar untuk lebih memaafkan diri sendiri dan menerima bahwa hidup dengan diabetes bukanlah akhir dari segalanya.

Anda Tidak Sendiri

Bila Anda atau orang terdekat baru saja didiagnosis diabetes dan merasa diserang oleh stres diabetes, ketahuilah bahwa Anda tidak sendiri. Jangan ragu untuk mencari bantuan medis, konsultasi psikologis, dan dukungan sosial. Banyak komunitas di Indonesia, seperti Persadia, yang siap menemani Anda dalam perjalanan ini.

Setiap langkah kecil yang Anda ambil dalam manajemen stres diabetes adalah investasi jangka panjang untuk kesehatan dan kebahagiaan Anda.

Tanya Jawab Seputar Reaksi Emosional dan Stres Diabetes

1. Apakah reaksi emosional berlebihan wajar setelah didiagnosis diabetes?

Sangat wajar. Hampir semua penderita baru mengalami gelombang emosi seperti penyangkalan, marah, takut, bahkan depresi ringan. Inilah pentingnya dukungan dan edukasi sejak awal.

2. Apakah stres benar-benar bisa mempengaruhi kadar gula darah?

Ya. Hormon stres seperti kortisol dapat meningkatkan produksi glukosa di dalam tubuh, sehingga mempengaruhi kadar gula darah.

3. Bagaimana cara cepat coping stres diabetes sehari-hari?

Latihan pernapasan, meditasi singkat, olahraga ringan, dan berbagi cerita dengan orang yang dipercaya sangat efektif meredakan stres harian.

4. Apakah berkonsultasi dengan psikolog penting bagi penderita diabetes?

Sangat penting, khususnya bila Anda merasa kewalahan menghadapi perubahan gaya hidup dan kecemasan berlebihan. Psikolog dapat membantu membangun strategi coping yang efektif.

5. Di mana saya bisa mendapatkan komunitas dukungan di Indonesia?

Anda bisa bergabung dengan Persadia (Perkumpulan Edukasi Diabetes Indonesia), forum-forum daring, atau support group lokal yang sering diadakan oleh rumah sakit besar di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *