Ketika Pikiran Saya Lebih Sibuk Daripada Tubuh Saya
Setelah didiagnosis diabetes tipe 2, saya mulai belajar banyak hal teknis: mengatur makan, membaca label nutrisi, mengukur gula darah, hingga memilih aktivitas fisik yang sesuai. Tapi satu hal yang tidak pernah diajarkan saat kontrol ke klinik adalah bagaimana menghadapi pikiran sendiri.
Pikiran saya sering kali sibuk dengan rasa takut, kekhawatiran, dan penyesalan. “Apa saya akan komplikasi?” “Kenapa dulu saya tidak jaga pola hidup?” “Bagaimana kalau saya tidak sanggup?”
Saya merasa sudah mengurus tubuh, tapi lupa merawat kepala saya sendiri. Dan dari kegelisahan itulah saya akhirnya mencoba sesuatu yang sebelumnya saya anggap “tidak penting”: mindfulness.
Mindfulness Itu Apa?
Sebelum saya mencoba, saya mengira mindfulness adalah teknik meditasi yang rumit, atau harus dilakukan di tempat sunyi dengan musik khusus. Tapi ternyata, mindfulness hanya berarti kehadiran penuh dalam momen saat ini, tanpa menghakimi apa pun yang sedang terjadi.
Saya mengenalnya sebagai latihan kesadaran, bukan pelarian. Dan bagi saya, itu menjadi titik awal berdamai dengan stres diabetes yang sering muncul tanpa aba-aba.
Awal Mula Saya Mencoba
Saya membaca artikel tentang mindfulness di tengah malam, setelah seharian lelah memikirkan hasil cek gula darah. Hari itu, angka saya di atas target, padahal saya merasa sudah makan dengan benar. Kekecewaan menumpuk, lalu berubah jadi stres.
Saya duduk di ujung tempat tidur, menarik napas dalam, dan mengikuti panduan sederhana:
Fokus pada napas Rasakan udara masuk dan keluar Ketika pikiran muncul, sadari, lalu lepaskan Kembali ke napas
Itu hanya berlangsung lima menit. Tapi anehnya, saya merasa tidak lagi sesak. Bukan karena masalahnya hilang, tapi karena kepala saya berhenti memutar ulang ketakutan yang sama.
Apa yang Saya Rasakan Setelahnya?
- Saya tidak langsung merasa “bahagia”, tapi lebih ringan
- Saya tetap punya kekhawatiran, tapi tidak lagi membebani
- Saya bisa tidur tanpa pikiran yang saling bertabrakan
- Besok paginya, saya mulai hari dengan lebih tenang — bukan karena gula darah turun, tapi karena saya tidak lagi menyalahkan diri sendiri
Latihan kecil itu membuat saya sadar, bahwa bagian penting dari merawat diri bukan hanya angka di glucometer, tapi keseimbangan batin di baliknya. Inilah yang kemudian saya masukkan ke dalam rutinitas tips relaksasi penderita diabetes yang saya bangun secara bertahap.
Tantangan Saat Memulai
Awalnya, saya merasa:
- “Kok saya malah makin banyak pikiran saat mencoba diam?”
- “Apa ini cuma buang waktu?”
- “Kenapa susah sekali untuk sekadar diam lima menit?”
Tapi lama-lama saya sadar, kesulitan itu adalah bagian dari proses. Justru di situlah saya belajar mengenal pikiran saya sendiri. Bukan untuk menghilangkannya, tapi untuk menyadari bahwa saya bukan pikiran-pikiran itu.
Saya Menemukan Waktu Terbaik untuk Mindfulness
- Pagi hari, sebelum mulai aktivitas, untuk memberi ruang tenang sejak awal
- Sore hari, setelah pekerjaan selesai, sebelum transisi ke waktu keluarga
- Saat gula darah naik, agar saya tidak panik atau terbawa emosi
- Menjelang tidur, sebagai penutup hari dan pelepasan ketegangan
Terkadang saya hanya duduk dua menit, tanpa ekspektasi. Tapi dampaknya tetap terasa.
Saya juga menemukan bahwa banyak pikiran stres penderita diabetes tipe 2 bisa diredakan dengan hanya hadir secara sadar di saat ini — bukan dengan solusi instan.
Saya Tidak Perlu Sempurna, Saya Hanya Perlu Hadir
Mindfulness bukan tentang menjadi “tenang terus”, tapi tentang menyadari saat saya sedang tidak tenang. Ia bukan pelarian, tapi latihan untuk kembali ke kenyataan — tanpa harus menghakimi, membandingkan, atau mempercepat proses.
Setelah mencoba mindfulness, saya tahu bahwa saya punya ruang aman di dalam diri sendiri. Ruang yang bisa saya datangi kapan saja saat stres datang, tanpa harus lari jauh.
Dan dari kesadaran itulah, saya mulai menata ulang cara saya menjalani hari sebagai seseorang yang hidup dengan diabetes.